Berdasarkan data Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Dalam setahun, ada minimal 100 nelayan Indonesia yang ditangkap
kepolisian Malaysia karena dianggap masuk ke dalam wilayah Malaysia.
Tidak hanya ditangkap, para nelayan ini bahkan banyak yang diadili tanpa
ada perlindungan kuat dari pemerintah. "Data kita kemungkinan
paling sedikit ada 100 nelayan Indonesia yang ditangkap Malaysia.
Padahal menurut pernyataan nelayan, mereka cari ikan masih di wilayah
kita," ujar Sekjen KNTI, Riza Damanik, Kamis (2/9/2010), di Jakarta.
Ia
mengungkapkan kebanyakan kasus penangkapan tersebut tidak diberitahukan
ke pihak KBRI ataupun kepada keluarga. Sebagai contoh, Riza berujar,
kasus penangkapan enam orang nelayan asal Langkat, Sumatera Utara, pada
Juli 2010. "Ini yang banyak tidak diketahui. Keluarga melapor
kepada kami setelah 20 hari nelayan tersebut tidak ada kabar dan
mendapati info justru dari TKI yang bekerja di Malaysia," ungkap Riza.
Keenam
nelayan tersebut kini tengah diproses hukum di Malaysia. Riza
mengungkapkan selama ini ada sekitar 50 nelayan asal Langkat yang tiap
tahunnya ditangkap Malaysia. Sikap Malaysia ini dinilai Riza sebagai
trik negeri tersebut untuk menegaskan kekuasannya di wilayah kedaulatan
Indonesia.
"Kenapa mereka tidak mudah melepaskan nelayan kita? Ini
karena mereka menunggu sampai ada proses hukum dan putusan dulu baru
dilepaskan. Putusan inilah yang kemudian dijadikan bukti bahwa perangkat
hukum Malaysia bekerja di wilayah Indonesia," ujarnya lagi seperti yang kami kutip dari kompas.com.
Apa
yang dilakukan Malaysia tersebut, serupa dengan apa yang terjadi pada
kasus Sipadan dan Ligitan. "Untuk mendapatkan pulau tersebut, Malaysia
hanya memungut pajak. Mereka mengumpulkan bukti untuk menegaskan
kekuasaan hukum Malaysia lah yang bekerja di tempat itu. Ini yang
dikhawatirkan ke depannya, Malaysia berbuat yang sama seperti kasus
Sipadan dan Ligitan," tandas Riza.