;

Rabu, 25 Mei 2011

Review Film Batas. Pemain : Marcella Zalianty

Jaleswari mengucapkan kata-kata sesak yang sarat oleh kepedihan. Kata-kata berterbangan. Perasaan-perasaan berkelebat. Persoalan-persoalan menyeruak. Di rimba Kalimantan, banyak hati menemukan penghiburan, banyak pula kekuasaan mendapatkan perlawanan. Jaleswari, perempuan tangguh, pegawai bagian CRS sebuah perusahaan di Jakarta adalah salah satu karakter dalam film besutan Rudi Soedjarwo, 'Batas'.

Setelah cukup lama tidak aktif membuat film (film terakhirnya 'Kambing Jantan', 2009), Rudi Soedjarwo bekerja sama dengan Marcella Zalianty yang menjadi pemain utama sekaligus produser dari film yang ber-setting di pedalaman Kalimantan Barat ini. Dibandingkan film-film Rudi sebelumnya, film ini dipersiapkan dengan jauh lebih baik, dengan atmosfer dan refleksi yang lebih mendalam.

Hasilnya, film ini mampu meretas batas-batas tuntutan cerita, dan menghindarkan diri dari pandangan orang luar yang bersifat permukaan. Meski di beberapa bagian, dialog-dialog dalam film ini terasa mengawang-awang (kalau tidak boleh dikatakan berlebihan) serta menjadikan filmnya lebih berat daripada yang seharusnya, saya pikir film ini memberi harapan yang cukup menjanjikan di tengah keputusasaan industri film nasional.

Film dibuka dengan sosok Jaleswari (diperankan Marcella Zalianty) yang melakukan perjalanan darat ke desa tempat perusahaannya melakukan program pendidikan. Sayangnya, program CSR (corporate social responsibility) itu tidak berjalan dengan baik. Atas perintah atasannya, ia pun terjun langsung sendirian ke daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di bagian barat pulau Kalimantan.

Di antara hutan-hutan yang dipapras untuk perkebunan kelapa sawit, serta komplotan pedagang manusia di tapal batas negeri Khatulistiwa, Jaleswari masuk ke wilayah orang Dayak dan tinggal di daerah yang dikepalai sang ketua adat yang akrab disebut Panglima (dimainkan secara mengesankan oleh aktor senior Piet Pagau).

Ia tinggal di rumah Borneo (diperankan Alifyandra), seorang anak suku Dayak yang sempat mencuri telepon selulernya dan kelak akan menjadi muridnya yang paling teladan. Bersama Adeus (Mercell Domits), guru setempat, ia berusaha menghidupkan kembali sekolah desa tersebut. Kehadiran dan gerak-gerik Jaleswari segera memancing perhatian sang penjahat, Otik, yang digambarkan bukan asli dari suku Dayak. Konflik pun tak terhindarkan.

Persoalan lain muncul dari masyarakat setempat. Inisiatif Jaleswari untuk mengembalikan ‘fungsi’ sekolah terhalang oleh tradisi masyarakat setempat yang lebih suka membiarkan anaknya bekerja di ladang daripada sekolah karena sekolah tidak pernah membuat mereka mampu menghadapi persoalan ekonomi kaum yang terpinggirkan ini. Beberapa orang lebih suka mengirim anaknya bekerja di Malaysia secara illegal karena dengan begitu, mereka bisa menghasilkan uang.

Persoalan ekonomi politik itu disisipkan secara mengesankan oleh Rudi Soedjarwo. Ia pun menghadirkan karakter seorang gadis, bernama Ubuh (Ardina Rasti), korban perdagangan manusia komplotan Otik. Di sisi lain, Jaleswari berkenalan dan dekat dengan seorang aparat, Arif (Arifin Putra) yang membantunya menghadapi krisis-krisis penting di Kalimantan.

Persoalan dan konflik ini berkait-kelindan dalam drama kemanusiaan orang-orang yang mencari hidup yang lebih baik. Beberapa karakter mencoba berdamai dengan kehilangan, karakter-karakter lain menemukan pegangan dalam kehangatan persaudaraan. Jaleswari sendiri kian tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Alur film ini cukup terjaga, juga pendekatan teknis yang dilakukan.

Kelebihan Rudi dalam mengarahkan aktor sangat terasa di sini. Film ini ditutup dengan dongeng tentang ke-Indonesia-an yang justru sedikit disesalkan. Tanpa membawa wacana besar macam negara-bangsa Indonesia, film ini mungkin justru membawa bacaan alternatif tentang wacana perbatasan Indonesia-Malaysia yang selalu saja menjadi persoalan.

Artikel Menarik Lainnya: